Sabtu, 19 November 2016

MOBILITAS SOSIAL



Setiap masyarakat senantiasa terjadi proses dinamika atau transformasi, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Dinamika sosial terjadi akibat adanya faktor-faktor tertentu sebagai pendorong melakukan dinamika, dan dinamika inilah biasanya disebut mobilitas sosial.
a.      Pengertian mobilitas sosial
Mobilitas sosial diartikan sebagai gerak dalam struktur sosial (social structure). Mobilitas social menunjuk pada pergerakan masyarakat dalam struktur-strukrur sosial, seperti pendidikan, ekonomi, pertanian, agama, dan sebagainya. Allah berfirman:
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلادِ، مَتاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْواهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهادُ . سورة آلِ عمران: 196- 197
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh pergerakan orang-orang kafir di dalam suatu negeri, Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran: 196-197).
Mobilitas mempunyai arti yang bermacam-macam;
1)      Mo­bilitas fisik (mobilitas geografis) yaitu perpindahan tempat tinggal (menetap/sementara) dari suatu tempat ke tempat yang lain.
2)      Mobilitas sosial yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial ini terdiri dari dua tipe, (Sahat Simamora, 1983: 269) yaitu:
a)      Mobilitas sosial horisontal diartikan sebagai gerak perpindahan dari suatu status lain tanpa perubahan kedudukan. Jadi dalam mobilitas sosial horisontal ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang. Mobilitas sosial vertikal yaitu suatu gerak perpindahan dari suatu status sosial ke status sosial lainnya, yang tidak sederajat. (Soerjono Soekanto, 1981: 150)  
b)      Mobilitas sosial vertikai ini jika dilihat dari arahnya, maka dapat dirinci atas dua jenis, yaitu gerak perpindahan status sosial yang naik (social climbing) dan gerak perpindahan status yang menurun (social sinking).
Pengertian mobilitas sosial ini mencakup baik mobilitas kelompok maupun individu. Misalnya keberhasiian keluarga Pak A meru­pakan bukti dari mobilitas individu; sedang arus perpindahan penduduk secara bersama-sama (bedol desa) dari daerah kantong-kantong kemiski­nan di Pulau Jawa ke daerah yang lebih subur sehingga tingkat kese­jahteraan mereka relatif lebih baik dibanding di daerah asal, merupakan contoh mobilitas kelompok.
3)      Mobilitas psikis, yaitu merupakan aspek-aspek sosial-psikologis sebagai akibat dari perubahan sosial. (Sarlito Sarwono, 2001) Dalam hal ini adalah mereka yang bersangkutan mengalami perubahan sikap yang disertai tentunya dengan goncangan jiwa.

b.      Dampak mobilistas sosial didalam pendidikan Islam di Indonesia
Konsep mobilitas tersebut dalam prakteknya akan saling berkaitan satu sama lain, dan sulit untuk menentukan mana sebagai akibat dan penyebabnya. Sebagai contoh untuk terjadinya perubahan status sosial, seseorang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena ketiadaan lapangan kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografi yang disertai dengan segala kerugian yang menyakitkan, yakni lenyapnya ikatan sosial yang sudah demikian lama terjalin. Demikian halnya mobilitas geografis akan mempengaruhi terha­dap mobilitas sosial yang climbing maupun sinking, bahkan sekaligus mempengaruhi mobilitas mental atau psikis dari individu maupun masyarakat.
Dalam konteks mobilitas sosial, seringkali dimotori oleh suatu ideologi tertentu. Sebuah mobilitas sosial yang terarah dan jelas kausalitasnya apabila jelas semangat ideologi yang memicunya. George Rude menyatakan bahwa sejauh gerakan sosial apapun harus memiliki sebuah ideologi agar sanggup melakukan mobilisasi sosial (Yudi Latif, 2001: 205).  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, gerakan Islam radikal yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu, lebih didorong oleh kepentingan untuk memperoleh legitimasi moral dan agama sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi sosial secara vertikal dari kelompok akar sosial non agama (Al-Zastrow, 2006: 121). Mobilisasi sosial yang didasari ideologi agama seringkali melegitimasi pola dan dampak mobilisasi tersebut, sehingga cenderung membawa dampak sosial yang besar atau terjadi konflik sosial. Legitimasi agama inilah sehingga mobilitas sosial seringkali dipaksakan dan bersifat revolusioner. Padahal didalam masyarakat Indonesia yang multikultur harus dengan pendekatan yang presuasif. Sebagaimana firman Allah;
ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ . سورة النحل: 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya. dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS An-Nahl: 125)
Namun demikian, mobilisasi sosial akibat kesadaran sosial akan melahirkan proses sosial yang dinamis dan evolutif. Sebagai contoh, orang-orang Kalimantan (Suku Dayak) yang masuk agama Islam atau orang Melayu, sering menyangkali leluhurnya sebagai orang Dayak. Lebih dari itu, orang Dayak tersebut mengokohkan dirinya dalam identitas orang Melayu sejati, pada umumnya orang Dayak menganggap dirinya sudah memperoleh “mobilisasi sosial” dari status sosial yang rendah meningkat menjadi orang Melayu dengan status sosial yang tinggi (A. Budi Susanto, 2003: 126). Mobilitas sosial dengan landasan agama hanyalah bentuk sebuah status diri dengan Tuhan, bukan untuk kelas sosial.

STRATIFIKASI SOSIAL



Setiap individu dalam masyarakat memiliki status dan kedudukan. Status dan kedudukan ini mendorong munculnya perbedaan sikap seseorang terhadap orang lain. Atas dasar itulah, masyarakat dikelompokkan secara vertikal atau bertingkat-tingkat sehingga membentuk lapisan-lapisan sosial tertentu dengan kedudukannya masing-masing.
Stratifikasi sosial menurut Soerjono Soekanto adalah sesuatu yang pasti terjadi di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sedangkan menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkies). Perwujudanya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah
Jadi, Stratifikasi sosial adalah pengelompokan anggota masyarakat kedalam lapisan-lapisan sosial secara bertingkat. Atau suatu lapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat karena adanya sudut pandang yang dianggap bernilai lebih daripada yang lain. Sebagaimana firman Alloh;
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ. سورة النحل: 71
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan rezekinya itu tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama-sama merasakan rezeki itu. Maka megapa mereka mengingkari nikmat Allah.”  (QS. An-Nahl: 71).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً. سورة النساء: 1
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak...”  (QS. An-Nisa’:1)
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. سورة النساء: 4
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan...”  (QS. An-Nisa’: 11)
a.      Unsur-unsur penyebab terjadinya stratifikasi sosial
Dalam teori sosiologi unsur-unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat adalah:
1)      Kedudukan (status)
Kedudukan merupakan salah satu unsur pokok dalam sistim stratifikasi dalam masyarakat. Kedudukan seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial (sosial status).
Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Kedudukan sosial tidak hanya kumpulan kedudukan kedudukan seseorang dalam kelompok yang berbeda, tetapi kedudukan sosial mempengaruhi kedudukan orang tadi dalam kelompok sosial yang berbeda.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya “Setangkai Bunga Sosiologi” menyatakan bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial akan terjadi.
Sedangkan ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan stratifikasi social adalah:
a)      Ukuran kekayaan 
Adalah kepemilikan harta benda seseorang dilihat dari jumlah dan materiil saja.
b)      Ukuran kekuasaan dan wewenang 
Adalah kepemilikan kekuatan atau power seseorang dalam mengatur dan menguasai sumber produksi atau pemerintahan.
c)      Ukuran kehormatan 
Kehormatan inidapat diukur dari gelar kebangsawanan atau dapat pula diukur dari sisi kekayaan materiil.
d)     Ukuran ilmu pengetahuan, 
Artinya ukuran kepemilikan seseorang atau penguasaan seseorang dalam hal ilmu pengetahuan. Kriteria ini dapat pula disebut sebagai ukuran kepandaian dalam kualitas.
Sedangkan menurut Pitirim Sorokin, untuk mengukur status dapat dilihat dari Jabatan / pekerjaan, ilmu pengetahuan, kekayaan, agama, dan politis atau keturunan.
Senada dengan dua pendapat diatas Soerjono Soekanto juga menjelaskan dimensi stratifikasi sosial meliputi kekayaan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kehormatan, kesolehan, dan agama
2)      Peran (role)
Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Artinya apabila seseorang memenuhi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan.
Peran menyangkut 3 hal:
a)      Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat
b)      Peran merupakan suatu konsep tentang apa yang dilakukan individu dalam masyarakat
c)      Peran merupakan sebagai perilaku indidvidu yang penting dalam struktur sosial
Macam-macam peran (atas dasar pelaksanaannya):
a)      Peran yang diharapkan. Contoh : hakim, diplomatik, protokoler, dan lain sebagainya.
b)      Peran yang disesuaikan
Peran yang menyesuaikan dengan situasi setempat. Sehingga peran ini sifatnya lebih luwes.
Macam-macam peran (atas dasar cara memperolehnya):
a)      Peran bawaan (ascribed roles), Yaitu, peran yang diperoleh secara otomatis tanpa melalui usaha. Contoh: peran ayah, peran ibu dan lain sebagainya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالإِمَامُ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ ، وَهْيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ. رواه البخاري
"Setiap kamu adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam (pemimpin negara) adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki (kepala rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) terhadap keluaganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita (ibu rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin (pengatur) pada harta tuannya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya". (HR. al-Bukhari)
b)      Peran pilihan (achieved roles), Yaitu, peran yang diperoleh atas dasar keputusan sendiri. Contoh: seseorang yang memutuskan untuk kuliah di STAIM, dan lain-lain.

b.      Dampak dan pentingnya stratifikasi sosial dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam
Sosiologi pendidikan pada pokoknya merupakan study ilmiah dari interaksi sosial yang menyinggung lembaga pendidikan atau lembaga persekolahan. Pendidikan merupakan satu aset yang dihargai dalam masyarakat modern dan dinilai tinggi (Bryan S. Turner, 1983: 82). Dalam islam pendidikan juga sangat dihargai seperti yang disebutkan dalam firman Alloh SWT yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. سورة المجادلة: 11
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11)

Pendidikan memiliki alokasi dan distribusi sumber sosial melalui distribusi lapangan kerja. Orang mengisi suatu lapangan pekerjaan atas dasar kemampuan atau keahlian yang dimilikinya. Kemampuan atau keahlian itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan atau pengalaman dalam lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat. Sementara itu, lapangan kerja yang berbeda memberikan penghasilan serta status yang berbeda pula, yang dapat diukur dengan nilai materi atau nilai sosio kultural.  
Pelapisan sosial dalam masyarakat dianggap samgat penting karena memiliki beberapa fungsi yaitu: (Talcot Parson, 1985: 70)
a)      Alat bagi masyarakat untuk menjalankan tugas-tugas pokok
b)      Pelapisan sosial dapat menyusun dan mengatur serta mengawasi hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
c)      Pelapisan sosial mempunyai fungsi pemersatu dengan mengkoordinasikan unit-unit yang ada dalam stratifikasi sosial.
d)     Pelapisan sosial memudahkan manusia untuk saling berhubungan diantara mereka.
e)      Memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yaitu penempatan individu dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar melaksanakan kewajibannya yang sesuai dengan kedudukan serta perannya.
f)       Distribusi hak-hak istimewa yang objektif, seperti menentukan penghasilan, tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan atau pangkat atau kedudukan seseorang.
g)      Sistem tingkatan pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yang menerima anugerah penghargaan atau gelar atau kebangsawanan dan sebagainya.

Adapun dampaknya, sistem persekolahan formal justru sebagai biangnya proses stratifikasi sosial. Anak-anak keluarga kaya di Indonesia misalnya lebih banyak menikmati fasilitas pendidikan yang sangat baik. Bahkan mereka sempat untuk menambah pengetahuan dengan les privat dan aneka buku, majalah, komputer, internet, dan lain-lain. Sebaliknya anak-anak keluarga miskin harus memasuki sekolah yang tidak bermutu, baik baik fasilitas maupun sistem pembelajarannya. Di ujungnya lingkungan sekolah yang buruk memunculkan budaya kekerasan. Anak-anak keluarga dari miskin akan mudah emosi, agresif dan frustasi. Dengan kata lain pendidikan formal justru melahirkan stratifikasi sosial dan makin mempertajam kesenjangan. Mahalnya biaya sekolah justru diikuti pula oleh kemerosotan dunia ekonomi. Pengangguran terselubung makin banyak jumlahnya dan pertumbuhan penduduk tetap tinggi. Dari titik inilah muncul keresahan sosial, dan berbagai konflik yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial. Hukum Darwin siapa yang kuat dia yang menang berlaku (Kimball Young and Raymond W. Mack, 1959: 214).