Setiap
masyarakat senantiasa terjadi proses dinamika atau transformasi, baik yang
bersifat individu maupun kelompok. Dinamika sosial terjadi akibat adanya
faktor-faktor tertentu sebagai pendorong melakukan dinamika, dan dinamika
inilah biasanya disebut mobilitas sosial.
a.
Pengertian
mobilitas sosial
Mobilitas
sosial diartikan sebagai gerak dalam struktur sosial (social structure).
Mobilitas social menunjuk pada pergerakan masyarakat dalam struktur-strukrur
sosial, seperti pendidikan, ekonomi, pertanian, agama, dan sebagainya. Allah
berfirman:
لَا
يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلادِ، مَتاعٌ قَلِيلٌ
ثُمَّ مَأْواهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهادُ . سورة آلِ عمران: 196-
197
“Janganlah
sekali-kali kamu terperdaya oleh pergerakan orang-orang kafir di dalam suatu
negeri, Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka
ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran:
196-197).
Mobilitas mempunyai
arti yang bermacam-macam;
1)
Mobilitas fisik (mobilitas geografis) yaitu
perpindahan tempat tinggal (menetap/sementara) dari suatu tempat ke tempat yang
lain.
2)
Mobilitas sosial yaitu suatu gerak perpindahan
dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial ini terdiri
dari dua tipe, (Sahat Simamora, 1983: 269) yaitu:
a)
Mobilitas sosial horisontal diartikan sebagai
gerak perpindahan dari suatu status lain tanpa perubahan kedudukan. Jadi dalam
mobilitas sosial horisontal ini, tidak terjadi perubahan dalam derajat
kedudukan seseorang. Mobilitas sosial vertikal yaitu suatu gerak perpindahan
dari suatu status sosial ke status sosial lainnya, yang tidak sederajat.
(Soerjono Soekanto, 1981: 150)
b)
Mobilitas sosial vertikai ini jika dilihat dari
arahnya, maka dapat dirinci atas dua jenis, yaitu gerak perpindahan status
sosial yang naik (social climbing) dan gerak perpindahan status yang
menurun (social sinking).
Pengertian mobilitas sosial ini mencakup baik
mobilitas kelompok maupun individu. Misalnya keberhasiian keluarga Pak A merupakan
bukti dari mobilitas individu; sedang arus perpindahan penduduk secara
bersama-sama (bedol desa) dari daerah kantong-kantong kemiskinan di
Pulau Jawa ke daerah yang lebih subur sehingga tingkat kesejahteraan mereka
relatif lebih baik dibanding di daerah asal, merupakan contoh mobilitas
kelompok.
3)
Mobilitas psikis, yaitu merupakan aspek-aspek
sosial-psikologis sebagai akibat dari perubahan sosial. (Sarlito Sarwono, 2001)
Dalam hal ini adalah mereka yang bersangkutan mengalami perubahan sikap yang
disertai tentunya dengan goncangan jiwa.
b.
Dampak
mobilistas sosial didalam pendidikan Islam di Indonesia
Konsep mobilitas tersebut dalam prakteknya akan
saling berkaitan satu sama lain, dan sulit untuk menentukan mana sebagai akibat
dan penyebabnya. Sebagai contoh untuk terjadinya perubahan status sosial,
seseorang terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya karena ketiadaan lapangan
kerja, atau sebaliknya mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya
mobilitas geografi yang disertai dengan segala kerugian yang menyakitkan, yakni
lenyapnya ikatan sosial yang sudah demikian lama terjalin. Demikian halnya
mobilitas geografis akan mempengaruhi terhadap mobilitas sosial yang climbing
maupun sinking, bahkan sekaligus mempengaruhi mobilitas mental atau
psikis dari individu maupun masyarakat.
Dalam konteks mobilitas sosial, seringkali
dimotori oleh suatu ideologi tertentu. Sebuah mobilitas sosial yang terarah dan
jelas kausalitasnya apabila jelas semangat ideologi yang memicunya. George Rude
menyatakan bahwa sejauh gerakan sosial apapun harus memiliki sebuah ideologi
agar sanggup melakukan mobilisasi sosial (Yudi Latif, 2001: 205). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa,
gerakan Islam radikal yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu, lebih
didorong oleh kepentingan untuk memperoleh legitimasi moral dan agama sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi sosial secara vertikal dari kelompok akar
sosial non agama (Al-Zastrow, 2006: 121). Mobilisasi sosial yang didasari
ideologi agama seringkali melegitimasi pola dan dampak mobilisasi tersebut,
sehingga cenderung membawa dampak sosial yang besar atau terjadi konflik
sosial. Legitimasi agama inilah sehingga mobilitas sosial seringkali dipaksakan
dan bersifat revolusioner. Padahal didalam masyarakat Indonesia yang
multikultur harus dengan pendekatan yang presuasif. Sebagaimana firman
Allah;
ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ
بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ . سورة النحل: 125
“Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesal dari jalan-Nya. dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS An-Nahl: 125)
Namun demikian, mobilisasi sosial akibat
kesadaran sosial akan melahirkan proses sosial yang dinamis dan evolutif.
Sebagai contoh, orang-orang Kalimantan (Suku Dayak) yang masuk agama Islam atau
orang Melayu, sering menyangkali leluhurnya sebagai orang Dayak. Lebih dari
itu, orang Dayak tersebut mengokohkan dirinya dalam identitas orang Melayu
sejati, pada umumnya orang Dayak menganggap dirinya sudah memperoleh
“mobilisasi sosial” dari status sosial yang rendah meningkat menjadi orang
Melayu dengan status sosial yang tinggi (A. Budi Susanto, 2003: 126). Mobilitas
sosial dengan landasan agama hanyalah bentuk sebuah status diri dengan Tuhan,
bukan untuk kelas sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar