Sabtu, 24 Desember 2016

Teori-teori sosiologi



     Teori-teori sosiologi
a.       Teori Konflik
Tokoh utama dalam teori ini, selain Karl Marx, adalah Ralp Dahrendorf, Georg Simmel, C.Wright Mills, dan L.A Coser. Asumsi dasar teori konflik ini antara lain bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen dalam masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social. Keteraturan yang terdapat dalam suatu masyarakat itu hanyalah disebabkn karena adanya tekanan atau pemaksaa kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Teori konflik ternyata agak mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping konflik itu sendiri. Menurut Syamsir (2006: 9) Asumsi dasar teori konflik menurut Karl Marx menyatakan bawa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.
Menurut Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial
Veeger, Karel J (1993 : 92), teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga seperti kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka, sehingga tidak dapat dibagi sama rata diantara rakyat. Maka telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa diri dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar bagi dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain memperoleh atau menguasai barang itu.
Hediyat Soetopo (2010: 267) bahwa konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes eksklusif yang tidak bisa dipertemuakan, sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Kartini Kartono (1998: 213) mendefiniskan konflik secara positif, negatif dan netral. Dalam pengertian negatif, konflik diartikan sebagai: sifat-sifat animalistik, kebuasaan, kekerasan, barbarisme, destruksi/pengrusakan, penghancuran, irrasionalisme, tanpa kontrol emosional, huru-hara, pemogokan, perang, dan seterus.
Dalam pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: petualangan, hal-hal baru, inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi, pertumbuhan, perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawas-diri, perubahan, dan seterusnya.
Sedangkan dalam pengertian netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan hidup yang sama pula.
Teori konflik dalam sosiologi untuk sementara waktu membatasi diri dan hanya bermaksud menerangkan antagonisme atau ketegangan antara pihak berkuasa dengan pihak yang dikuasai dalam rangka pengorganisasian struktural yang tertentu.
Penalaran teori konflik adalah sebagai berikut:
1)      Kedudukan orang-orang didalam kelompok atau masyarakat tidak sama, karena ada pihak yang berkuasa dan berwenang dan ada pihak yang tergantung.
2)      Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula.
3)      Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda itu tidak disadari dan karenanya dapat disebut “kepentingan sembunyi “(latent interests) yang tidak akan meletuskan aksi.
4)      Konflik itu akan berhasil membawa perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, kalau kondisi-kondisi tertentu telah dipenuhi yaitu kondisi –kondisi yang menyangkut keorganisasian, kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri dan ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan struktural.
Teori konflik memandang bahwa kemiskinan didunia ketiga sebagai akibat proses perkembangan kapitalis didunia barat. Kalau Negara yang berkembang ingin maju maka harus mampu melepaskan dan memutuskan hubungan dengan Negara-negara kapitalis. Teori konflik ini meskipun sangat ringkih namun mendapat dukungan yang luas terutama dari kalangan intelektual muda dikalangan Negara yang berkembang.
Perkembangan pendidikan hanya merupakan suatu proses strata pikasi social yang cenderung memperkuat posisi kaum yang selama ini memiliki keistimewaan. Beberapa asumsi dari teori konflik;
1)      Manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan berusaha untuk mendapatkannya
2)      Kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan social
3)      Ideology dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok yang berbeda dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan sendiri
Dengan demikian teori konflik memandang masyarakat sebagai arena di mana masing-masing individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi, kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok-kelompok mereka sendiri. Teori konflik Marxian adalah teori konflik materialis dan menekankan pertentangan kelas, sementara teori konflik Weberian lebih luas sifatnya dan menekankan sifat multidimensional dari konflik dan dominasi
Contoh teori konflik didalam pendidikan Islam di Indonesia ; akhir-akhir ini banyak terjadi pelecehan seksual terhadap pelajar, diantaranya kasus Yuyun di Bengkulu. Melihat fenomena ini, maka lebih tepat apabila menggunakan teori konflik. Teori ini berpendapat bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan sentral dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Kasus diatas secara implisit menjelaskan bahwa sikap laki-laki lebih kuat ketimbang perempuan sehingga laki laki berani melakukan hal tersebut. Di sinilah bagaimana kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang merupakan hal terpenting dari hubungan antara laki laki dan perempuan. Oleh sebab itu contoh kasus diatas akan menimbulkan konflik yang berakibat mengubah posisi dan hubungan antara laki laki dan perempuan.
1)          Interest. Laki-laki melecehkan perempuan itu muncul dari perempuannya sendiri karena penampilan atau style-nya yang menimbulkan nafsu syahwat laki laki muncul diantara itu juga faktor atau keadaan di dalam kondisi yang bisa menghidupkan peluang. Disebutkan juga dalam aliran feminis radikal bahwa penguasaan fisik laki-laki terhadap perempuan yang melecehkan kaum perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan tetapi menurut teori konfik, hal ini adalah kepentingan atau interest laki-laki terhadap hasratnya pada perempuan yang belum terpenuhi.
2)          Power. Laki-laki pada dasarnya memiliki kekuatan yang lebih dibanding perempuan,tetapi setelah ada emansipasi wanita muncul argumen bahwa perempuan dengan laki-laki derajatnya sama tetapi pada dasarnya power yang menentukna derajat seseorang jaman sekarang, selama para laki-laki mengaggap dirinya paling kuat dan tertinggi wanita akan selalu dilecehkan seperti yang terjadi didalam contoh diatas.
b.      Teori Interaksionisme Simbolik
Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut.
Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasangagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68).
Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136).
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59).
Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturanaturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut:
1)        Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.
2)        Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
3)        Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.
Contoh dari teori interaksi sibolik ini seperti mahasiswa STAIM dari LDII yang notabene sudah berusia tua dan banyak kesibukannya. Pada awalnya mreka merasa pesimis akan keberhasilannya dalam kuliah. Namun setiap rasa pesimis itu datang mereka teringat akan anak-anak yang memerlukan bimbingan dari hasil perkuliahan tersebut, akhirnya tumbuh rasa semangat. Disamping itu para dosen terutama Dr. H. Muhammad Thoyib yang senantiasa memberi motifasi bahwa sebagian mereka juga menjalani perkuliahan di usia yang sudah tua, menjadikan rasa pesimistis dalam diri mereka lambat-laun menghilang.
Dari contoh kasus di atas dapat dilihat bahwa para mahasiswa melakukan interaksi simbolik, dimana ia memaknai suatu simbol yang ada dalam dirinya saat akan mulai kuliah. Ia pada awalnya merasa pesimis, namun ia selalu mengingat anak-anak yang selalu mengharapkannya. Dan juga, dengan adanya kehadiran para dosen STAIM yang sebagian memiliki latar belakang yang sama dengannya, memunculkan pemaknaan simbolik yang ada dalam diri para mahasiswa, yaitu selau usaha dan mencintai perkuliahannya. Saat itulah, mereka merasa lebih kuat dan optimis, dan siap untuk menerima tantangan perkuliahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar