1
Teori-teori
sosiologi
a. Teori Konflik
Tokoh
utama dalam teori ini, selain Karl Marx, adalah Ralp Dahrendorf, Georg Simmel, C.Wright
Mills, dan L.A Coser. Asumsi dasar teori konflik ini antara lain bahwa
masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen dalam
masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social. Keteraturan yang
terdapat dalam suatu masyarakat itu hanyalah disebabkn karena adanya tekanan
atau pemaksaa kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Teori konflik
ternyata agak mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam
masyarakat disamping konflik itu sendiri. Menurut Syamsir (2006: 9) Asumsi
dasar teori konflik menurut Karl Marx menyatakan bawa masyarakat senantiasa
berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus
menerus diantara unsur-unsurnya.
Menurut Paul B. Horton & Chester L. Hunt, Teori konflik melihat
pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di
dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Teori konflik
juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang
berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara
superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan
kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar
terciptanya perubahan sosial
Veeger,
Karel J (1993 : 92), teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga
seperti kekuasaan dan wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan
kenikmatan, agak langka, sehingga tidak dapat dibagi sama rata diantara rakyat.
Maka telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang merasa
diri dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar bagi dirinya sendiri atau
hendak menghalang-halangi atau mencegah pihak lain memperoleh atau menguasai
barang itu.
Hediyat
Soetopo (2010: 267) bahwa konflik merupakan relasi-relasi psikologis yang
antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes
eksklusif yang tidak bisa dipertemuakan, sikap emosional yang bermusuhan, dan
struktur-struktur nilai yang berbeda.
Kartini
Kartono (1998: 213) mendefiniskan konflik secara positif, negatif dan netral.
Dalam pengertian negatif, konflik diartikan sebagai: sifat-sifat animalistik,
kebuasaan, kekerasan, barbarisme, destruksi/pengrusakan, penghancuran,
irrasionalisme, tanpa kontrol emosional, huru-hara, pemogokan, perang, dan
seterus.
Dalam
pengertian positif, konflik dihubungkan dengan peristiwa: petualangan, hal-hal
baru, inovasi, pembersihan, pemurnian, pembaharuan, penerangan batin, kreasi,
pertumbuhan, perkembangan, rasionalitas yang dialektis, mawas-diri, perubahan,
dan seterusnya.
Sedangkan
dalam pengertian netral, konflik diartikan sebagai: akibat biasa dari
keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan tujuan
hidup yang sama pula.
Teori
konflik dalam sosiologi untuk sementara waktu membatasi diri dan hanya
bermaksud menerangkan antagonisme atau ketegangan antara pihak berkuasa dengan
pihak yang dikuasai dalam rangka pengorganisasian struktural yang tertentu.
Penalaran
teori konflik adalah sebagai berikut:
1) Kedudukan orang-orang didalam
kelompok atau masyarakat tidak sama, karena ada pihak yang berkuasa dan
berwenang dan ada pihak yang tergantung.
2) Perbedaan dalam kedudukan
menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula.
3) Mula-mula sebagian
kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda itu tidak disadari dan karenanya
dapat disebut “kepentingan sembunyi “(latent interests) yang tidak akan
meletuskan aksi.
4) Konflik itu akan berhasil membawa
perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, kalau kondisi-kondisi tertentu
telah dipenuhi yaitu kondisi –kondisi yang menyangkut keorganisasian,
kondisi-kondisi yang menyangkut konflik sendiri dan ada kondisi-kondisi yang
menentukan bentuk dan besarnya perubahan struktural.
Teori
konflik memandang bahwa kemiskinan didunia ketiga sebagai akibat proses
perkembangan kapitalis didunia barat. Kalau Negara yang berkembang ingin maju
maka harus mampu melepaskan dan memutuskan hubungan dengan Negara-negara
kapitalis. Teori konflik ini meskipun sangat ringkih namun mendapat dukungan
yang luas terutama dari kalangan intelektual muda dikalangan Negara yang
berkembang.
Perkembangan
pendidikan hanya merupakan suatu proses strata pikasi social yang cenderung
memperkuat posisi kaum yang selama ini memiliki keistimewaan. Beberapa asumsi
dari teori konflik;
1) Manusia sebagai makhluk hidup
memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan
berusaha untuk mendapatkannya
2) Kekuasaan mendapatkan penekanan
sebagai pusat hubungan social
3) Ideology dan nilai-nilai dipandang
sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok yang berbeda dan mungkin
bertentangan untuk mengejar kepentingan sendiri
Dengan
demikian teori konflik memandang masyarakat sebagai arena di mana masing-masing
individu dan kelompok bertarung untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan
keinginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi,
kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur
masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok-kelompok mereka sendiri. Teori
konflik Marxian adalah teori konflik materialis dan menekankan pertentangan
kelas, sementara teori konflik Weberian lebih luas sifatnya dan menekankan
sifat multidimensional dari konflik dan dominasi.
Contoh teori konflik didalam
pendidikan Islam di Indonesia ; akhir-akhir ini banyak terjadi pelecehan
seksual terhadap pelajar, diantaranya kasus Yuyun di Bengkulu. Melihat fenomena
ini, maka lebih tepat apabila menggunakan teori konflik. Teori ini berpendapat
bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan
kekuasaan (power) yang merupakan sentral dari setiap hubungan sosial
termasuk hubungan laki-laki dan perempuan. Bagi penganut aliran konflik,
gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai dan
melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan
perempuan.
Kasus
diatas secara implisit menjelaskan bahwa sikap laki-laki lebih kuat ketimbang
perempuan sehingga laki laki berani melakukan hal tersebut. Di sinilah
bagaimana kepentingan (interest) dan kekuatan (power) yang
merupakan hal terpenting dari hubungan antara laki laki dan perempuan. Oleh
sebab itu contoh kasus diatas akan menimbulkan konflik yang berakibat mengubah
posisi dan hubungan antara laki laki dan perempuan.
1)
Interest. Laki-laki melecehkan perempuan itu muncul
dari perempuannya sendiri karena penampilan atau style-nya yang
menimbulkan nafsu syahwat laki laki muncul diantara itu juga faktor atau
keadaan di dalam kondisi yang bisa menghidupkan peluang. Disebutkan juga dalam
aliran feminis radikal bahwa penguasaan fisik laki-laki terhadap perempuan yang
melecehkan kaum perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan tetapi
menurut teori konfik, hal ini adalah kepentingan atau interest laki-laki
terhadap hasratnya pada perempuan yang belum terpenuhi.
2)
Power. Laki-laki pada dasarnya memiliki kekuatan
yang lebih dibanding perempuan,tetapi setelah ada emansipasi wanita muncul
argumen bahwa perempuan dengan laki-laki derajatnya sama tetapi pada dasarnya power
yang menentukna derajat seseorang jaman sekarang, selama para laki-laki
mengaggap dirinya paling kuat dan tertinggi wanita akan selalu dilecehkan
seperti yang terjadi didalam contoh diatas.
b.
Teori Interaksionisme Simbolik
Beberapa orang ilmuwan punya andil
utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark
Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan
George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis
dasar teori tersebut.
Mead mengembangkan teori
interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor
filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasangagasannya mengenai
interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan
catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama
teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana,
2001: 68).
Karya Mead yang paling terkenal ini
menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah
diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling
mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari
itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan
yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society)
di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain.
Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial
masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan
interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik
(Elvinaro, 2007: 136).
Perspektif interaksi simbolik
sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni
perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual,
fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran
atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian
yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan
peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah
fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi
individu (Rahardjo, 2005: 44).
Interaksionisme simbolik mempelajari
sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif
ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan
perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang
ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan
terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur
itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika
individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat
objek yang sama (Mulyana, 2001: 59).
Jadi, pada intinya, bukan struktur
masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam
menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih
dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan
pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93)
Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya
dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang
merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi
makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi
mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia.
Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses
sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturanaturan,
bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses
interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan
kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan
substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:
68-70).
Menurut teoritisi interaksi
simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan
pada premis-premis berikut:
1)
Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung
komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.
2)
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak
melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
3)
Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi
sosial.
Teori ini berpandangan bahwa
kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu.
Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama
lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh
definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses
interaksi.
Contoh dari teori interaksi sibolik
ini seperti mahasiswa STAIM dari LDII yang notabene sudah berusia tua dan
banyak kesibukannya. Pada awalnya mreka merasa pesimis akan keberhasilannya
dalam kuliah. Namun setiap rasa pesimis itu datang mereka teringat akan
anak-anak yang memerlukan bimbingan dari hasil perkuliahan tersebut, akhirnya
tumbuh rasa semangat. Disamping itu para dosen terutama Dr. H. Muhammad Thoyib
yang senantiasa memberi motifasi bahwa sebagian mereka juga menjalani
perkuliahan di usia yang sudah tua, menjadikan rasa pesimistis dalam diri
mereka lambat-laun menghilang.
Dari contoh kasus di atas dapat
dilihat bahwa para mahasiswa melakukan interaksi simbolik, dimana ia memaknai
suatu simbol yang ada dalam dirinya saat akan mulai kuliah. Ia pada awalnya
merasa pesimis, namun ia selalu mengingat anak-anak yang selalu
mengharapkannya. Dan juga, dengan adanya kehadiran para dosen STAIM yang sebagian
memiliki latar belakang yang sama dengannya, memunculkan pemaknaan simbolik
yang ada dalam diri para mahasiswa, yaitu selau usaha dan mencintai perkuliahannya.
Saat itulah, mereka merasa lebih kuat dan optimis, dan siap untuk menerima
tantangan perkuliahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar